Nyata Nyata Fakta – Maraknya modus penipuan keuangan di era serba digital kini semakin canggih dan sulit dikenali. Dari pesan singkat palsu hingga rekayasa suara dan video berbasis AI, pelaku kejahatan siber terus menyempurnakan strategi mereka untuk menjerat korban dari berbagai kalangan.
Dalam laporan terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan signifikan kasus penipuan keuangan digital menjelang momen Ramadan dan Lebaran 2025. Ratusan pengaduan masuk hanya dalam waktu dua minggu, dengan modus yang kian variatif dan melibatkan platform teknologi canggih. Fenomena ini mencerminkan betapa rentannya ekosistem keuangan digital Indonesia terhadap manipulasi teknologi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca Juga : Pemerintah Siapkan 330.000 Smart TV untuk Mendukung Pembelajaran di Sekolah
Jika sebelumnya masyarakat dihadapkan pada penipuan klasik seperti undian palsu atau pinjaman online ilegal, kini teknik yang digunakan pelaku sudah jauh lebih rumit. Salah satu modus baru yang mengemuka adalah penggunaan video deepfake dan rekayasa suara berbasis AI untuk meniru pegawai bank, OJK, atau instansi resmi lainnya.
Pelaku bahkan mampu meniru suara keluarga atau atasan korban untuk meminta informasi sensitif seperti kode OTP atau data rekening. Inilah yang disebut sebagai “vishing” atau voice phishing, yang menjangkau korban melalui telepon dengan suara yang terdengar sangat meyakinkan.
Menurut data OJK, lima modus utama yang kerap dilaporkan adalah:
Yang menjadi benang merah dari semua modus ini adalah rekayasa sosial. Pelaku memanfaatkan kepercayaan korban dan berusaha mendesak mereka agar bertindak cepat, biasanya dengan iming-iming hadiah atau ancaman kehilangan hak akses ke layanan keuangan.
Tidak ada batas usia atau latar belakang pendidikan bagi korban kejahatan digital. Baik anak muda, profesional, ibu rumah tangga hingga lansia semua bisa menjadi target jika lengah. Bahkan generasi digital native sekalipun bisa terkecoh oleh tampilan pesan atau situs palsu yang nyaris identik dengan aslinya.
Data dari beberapa lembaga riset menyebutkan bahwa lebih dari 60% pengguna internet di Indonesia pernah menerima pesan modus penipuan digital. Sebagian besar terjadi melalui SMS, diikuti oleh aplikasi chat, media sosial, dan email.
Simak Juga : Geger Rekening Rp 70 Miliar di BCA Dibobol! Begini Kronologi Lengkapnya
Melihat tren yang semakin mengkhawatirkan ini, OJK bersama berbagai lembaga telah membentuk kolaborasi Indonesia Anti Scam Center (IASC) yang melibatkan bank, penyedia jasa keuangan, dan operator telekomunikasi. Tujuannya untuk meningkatkan pemantauan dan menyederhanakan proses pelaporan jika terjadi kejahatan siber.
Di sisi lain, edukasi publik juga digenjot melalui kampanye literasi digital, pelatihan keamanan siber, dan simulasi pengenalan modus-modus penipuan.
Langkah preventif yang dapat diambil oleh masyarakat antara lain:
Di era digital ini, kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menghindari jebakan penipuan finansial menjadi hal yang krusial. Literasi digital bukan hanya sekadar tahu cara menggunakan aplikasi keuangan, tapi juga bagaimana bersikap kritis terhadap segala informasi dan transaksi yang melibatkan data pribadi.
Dengan membekali diri dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat lebih waspada dan tangguh menghadapi berbagai modus penipuan yang terus berkembang. Teknologi memang memudahkan, tapi kewaspadaan tetap harus jadi pertahanan utama.
Artikel tentang Modus Penipuan Digital ini ditulis ulang oleh : Ayu Azhari | Editor : Micheal Halim
Sumber Informasi : Interactive.co.id