Nyata Nyata Fakta – Bank Indonesia (BI) merilis data terbaru mengenai posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II 2025. Angka yang tercatat mencapai USD 433,3 miliar atau setara lebih dari Rp7.000 triliun, menunjukkan kenaikan 6,1 persen secara tahunan (year-on-year). Meskipun jumlahnya meningkat, laju pertumbuhan ini sedikit melambat dibandingkan kuartal I 2025 yang mencapai 6,4 persen.
Peningkatan ULN ini mencerminkan adanya kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus berlanjut, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Namun, BI menegaskan bahwa kenaikan ini masih dalam batas wajar dan struktur utang tetap dikelola dengan prinsip kehati-hatian.
Dari total ULN, Utang Luar Negeri Indonesia tercatat sebesar USD 210,1 miliar, tumbuh 10 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I yang berada di angka 7,6 persen.
Peningkatan ini antara lain dipicu oleh tingginya minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Arus modal masuk ke SBN mencerminkan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia serta stabilitas fiskal yang dijaga oleh pemerintah.
Dana dari ULN pemerintah digunakan untuk membiayai sejumlah sektor prioritas, seperti kesehatan dan kegiatan sosial (22,3 persen), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial (19,0 persen), pendidikan (16,4 persen), konstruksi (11,9 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,6 persen). Hampir seluruh utang pemerintah didominasi oleh instrumen jangka panjang, mencapai 99,9 persen dari total.
Baca Juga : Rencana Gugatan Elon Musk terhadap Apple: Babak Baru Persaingan Raksasa Teknologi
Sementara itu, ULN sektor swasta berada di angka USD 194,9 miliar. Berbeda dengan pemerintah, sektor ini justru mengalami kontraksi tipis sebesar 0,7 persen dibanding tahun lalu. Angka ini memperbaiki kinerja kuartal sebelumnya yang kontraksinya mencapai 1 persen.
Kontraksi tersebut terutama berasal dari penurunan utang perusahaan non-keuangan sebesar 1,4 persen. Di sisi lain, lembaga keuangan mencatat kenaikan utang sebesar 2,3 persen. Sektor pengutang terbesar di ranah swasta masih didominasi industri pengolahan, jasa keuangan dan asuransi, penyediaan listrik dan gas, serta pertambangan dan penggalian. Keempat sektor ini menyumbang 80,5 persen dari total ULN swasta.
Sama seperti pemerintah, mayoritas ULN swasta juga berjangka panjang, yaitu 76,7 persen. Hal ini memberikan ruang yang lebih luas bagi pelaku usaha untuk mengelola kewajiban mereka tanpa tekanan pembayaran jangka pendek yang berlebihan.
Salah satu indikator kesehatan ULN adalah rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal II 2025, rasio ULN Indonesia tercatat 30,5 persen, sedikit turun dibandingkan kuartal sebelumnya yang berada di angka 30,7 persen.
Penurunan rasio ini menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB lebih cepat dibandingkan kenaikan ULN, sehingga beban relatif terhadap ukuran ekonomi menjadi lebih ringan. Selain itu, porsi ULN jangka panjang yang mencapai 85 persen dari total menjadi faktor positif dalam menjaga keberlanjutan pembiayaan.
BI dan pemerintah menegaskan bahwa koordinasi akan terus diperkuat untuk memastikan pengelolaan utang tetap terukur, akuntabel, dan sesuai kebutuhan pembangunan. Fokus utamanya adalah menjaga keseimbangan antara pemenuhan pembiayaan dengan kestabilan makroekonomi.
Simak Juga : Jangan Tunggu Drop! Ini Rahasia Hadapi Burnout Tanpa Harus Resign!
Kondisi ULN Indonesia saat ini mencerminkan dinamika pembiayaan di tengah upaya mempercepat pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar untuk sektor infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan memang tak terelakkan. Namun, dengan strategi pengelolaan yang hati-hati, beban utang dapat ditekan agar tidak menjadi risiko bagi stabilitas ekonomi di masa depan.
Kebijakan untuk mempertahankan dominasi utang jangka panjang adalah langkah strategis. Selain mengurangi risiko jatuh tempo dalam waktu dekat, kebijakan ini juga memberi keleluasaan bagi pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan dana secara optimal bagi proyek-proyek produktif.
Ke depan, tantangan yang perlu diantisipasi adalah menjaga kepercayaan investor, meminimalkan risiko nilai tukar, dan memastikan bahwa setiap dolar yang dipinjam benar-benar memberi manfaat maksimal bagi perekonomian. Dengan pendekatan yang terukur dan transparan, ULN dapat menjadi instrumen yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan, bukan sekadar beban fiskal.