Nyata Nyata Fakta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali dihadapkan pada sinyal waspada. Kali ini datang dari sektor perbankan, tepatnya melalui penyaluran kredit bank yang mengalami perlambatan. Di atas kertas, angka pertumbuhan kredit masih berada di zona positif namun perlambatannya tak bisa dianggap remeh. Pada Mei 2025, kredit hanya tumbuh sebesar 8,43% secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dibanding April (8,8%) dan Maret (9,16%). Tren ini menjadi yang paling lambat sejak pertengahan 2023.
Namun angka hanyalah permukaan. Di baliknya, terdapat efek domino yang secara perlahan menggerogoti vitalitas dunia usaha, terutama sektor produktif dan pelaku UMKM yang sangat bergantung pada akses pendanaan.
Kredit bank merupakan salah satu saluran utama pembiayaan bagi dunia usaha. Ia menjadi bahan bakar untuk modal kerja, ekspansi produksi, pembelian bahan baku, hingga investasi jangka panjang. Ketika kredit mulai tersendat, dampaknya langsung terasa pada daya gerak pelaku usaha.
Perlambatan ini bukan tanpa sebab. Melemahnya daya beli masyarakat dan semakin tipisnya kelas menengah membuat permintaan kredit konsumsi menurun drastis. Masyarakat menahan diri untuk berutang, sementara perbankan semakin selektif dalam menyalurkan kredit di tengah ancaman risiko gagal bayar.
Namun yang paling terdampak adalah pelaku usaha kecil dan menengah. Pertumbuhan kredit UMKM tercatat hanya 2,17% secara tahunan, jauh tertinggal dibandingkan kredit korporasi besar yang masih tumbuh di atas 11%. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa akses terhadap pembiayaan masih belum merata.
Saat bank lebih memilih bermain aman dengan menyalurkan kredit ke sektor korporasi besar, dunia usaha menengah dan kecil kehilangan ruang untuk bergerak. Padahal, UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dan kontributor utama ekonomi lokal.
Dalam konteks ini, perlambatan kredit berpotensi menciptakan stagnasi berantai. Modal kerja yang macet akan menurunkan kapasitas produksi. Ketika produksi melemah, permintaan bahan baku, distribusi logistik, hingga upah karyawan akan ikut terganggu. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi nasional berisiko kehilangan momentum.
Dari sisi makro, kondisi ini juga memperbesar jurang ketimpangan. Dunia usaha yang memiliki akses terhadap permodalan akan semakin dominan, sementara yang kecil tertinggal dan berjuang sendiri di tengah iklim usaha yang kian dinamis.
Menyikapi situasi ini, OJK dan DPR telah mengeluarkan sinyal peringatan. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, secara tegas mendorong bank untuk lebih proaktif menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif. Menurutnya, penyaluran kredit tidak boleh stagnan, karena berkaitan langsung dengan pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Langkah korektif pun mulai dirumuskan. Salah satunya adalah meningkatkan koordinasi antara perbankan dan pelaku usaha dalam menyusun skema pembiayaan yang lebih adaptif. Digitalisasi layanan kredit untuk UMKM juga menjadi solusi jangka menengah, guna mempercepat proses verifikasi dan memperluas akses ke wilayah-wilayah yang belum terjangkau bank konvensional.
Namun tetap ada tantangan: bagaimana menyeimbangkan ekspansi kredit dengan kontrol risiko? Di sinilah peran regulator dan ekosistem digital sangat penting, menciptakan sistem yang transparan, cepat, dan tetap prudent.
Simak Juga : 28 Satelit Dilepas! Misi Gila SpaceX Bikin Langit Bumi Makin Padat
Dalam ekosistem ekonomi, kredit ibarat aliran darah yang menjaga semua organ tetap berfungsi. Ketika aliran ini mulai melambat, maka bukan hanya satu bagian yang terdampak, tetapi seluruh tubuh.
Perlambatan penyaluran kredit bank bukan sekadar gejala statistik. Ia adalah sinyal bahwa dunia usaha butuh perhatian ekstra, terutama dari sisi pembiayaan. Tanpa intervensi dan inovasi yang memadai, sektor riil bisa kehilangan daya dorongnya, dan pemulihan ekonomi bisa tertahan di tengah jalan.
Saat ini bukan waktunya menunggu. Dunia usaha membutuhkan dukungan konkret, bukan hanya janji stimulus. Perbankan, regulator, dan pelaku industri perlu duduk bersama menyusun jalan keluar. Karena pada akhirnya, keberlanjutan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana sirkulasi modal bisa dijaga tetap hidup dan merata.