Nyata Nyata Fakta – Pasar keuangan global kembali bergolak menyusul eskalasi konflik antara Israel dan Iran. Serangan militer besar-besaran yang dilancarkan Israel terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran pada Jumat (13/6) memicu lonjakan harga emas naik tinggi, serta mendorong investor mencari perlindungan di aset-aset aman.
Harga emas dunia naik tajam, sementara pasar saham melemah dan sektor energi melonjak. Situasi geopolitik yang tidak pasti kembali menjadi katalis utama pergerakan tajam di berbagai instrumen keuangan.
Harga emas melonjak sekitar 1,3% ke level US$3.427,36 per troy ounce, tertinggi dalam hampir dua bulan terakhir. Peningkatan ini mencerminkan reaksi klasik pasar terhadap ketidakpastian geopolitik di mana emas berperan sebagai “safe haven” atau aset lindung nilai dari risiko ekstrem.
Para investor secara global mulai mengalihkan portofolio dari saham dan mata uang berisiko ke instrumen yang lebih stabil seperti emas, franc Swiss, dan obligasi pemerintah AS. Lonjakan ini juga diperkuat oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed menyusul data ekonomi AS yang mulai melemah.
Baca Juga : Erdogan: Indonesia Sahabat Strategis Usai Pembelian Jet Tempur
Tidak hanya emas, harga minyak juga melonjak tajam. Minyak Brent naik lebih dari 10%, menembus US$74,77 per barel, menjadi kenaikan harian terbesar sejak Maret 2022. Kekhawatiran utama datang dari potensi gangguan distribusi energi di kawasan Timur Tengah. Khususnya melalui Selat Hormuz, jalur strategis yang dilalui lebih dari 20% pasokan minyak dunia.
Kenaikan harga minyak ini juga menimbulkan potensi tekanan baru terhadap inflasi global. Terutama di negara-negara importir minyak seperti Jepang, India, dan negara-negara Eropa.
Di sisi lain, indeks saham di berbagai belahan dunia mengalami penurunan. Bursa Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat mencatat koreksi antara 0,3% hingga 1,5%. Saham sektor penerbangan dan logistik menjadi yang paling terdampak, dengan rata-rata koreksi mencapai 4% akibat kekhawatiran gangguan jalur udara dan pembatasan wilayah terbang di Timur Tengah.
Investor institusional memilih mengurangi eksposur mereka di pasar saham untuk sementara waktu, sambil menunggu perkembangan terbaru dari dinamika politik dan militer di kawasan tersebut.
Simak Juga : Kabar Gembira Kini WNI Bisa Liburan ke China Selama 10 Hari dengan Visa Transit
Di tengah situasi yang memanas ini, data dari Amerika Serikat justru menunjukkan sinyal perlambatan ekonomi. Inflasi yang melandai dan pelemahan pasar tenaga kerja membuka peluang bagi The Federal Reserve untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih cepat dari perkiraan.
Kombinasi antara ketegangan geopolitik dan potensi pelonggaran moneter menjadi alasan utama mengapa emas semakin diminati dalam beberapa pekan terakhir. Investor kini memantau apakah harga emas mampu bertahan di atas level psikologis US$3.400, atau justru akan terkoreksi jika situasi mereda.
Kondisi seperti saat ini menunjukkan pentingnya memiliki strategi investasi yang adaptif dan tangguh terhadap risiko eksternal. Dalam artikel selanjutnya, kita akan membahas berbagai pendekatan diversifikasi portofolio untuk menghadapi ketidakpastian global mulai dari kombinasi antara komoditas, saham defensif, hingga obligasi serta bagaimana investor ritel dapat menjaga nilai aset mereka di tengah konflik dan volatilitas tinggi.