Nyata Nyata Fakta – Tren belanja masyarakat Indonesia terus mengalami transformasi, seiring dengan berkembangnya layanan keuangan digital seperti PayLater. Kemudahan untuk membeli sekarang dan membayar nanti memang menarik, apalagi ketika digabungkan dengan diskon, bebas bunga, atau cicilan ringan. Namun di balik kenyamanan tersebut, sebuah angka besar muncul ke permukaan: utang PayLater masyarakat Indonesia kini telah mencapai hampir Rp 23 triliun per Juni 2025.
Angka ini dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mencerminkan peningkatan signifikan sebesar 29,75% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bukan sekadar statistik, lonjakan ini menandai perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat yang perlu dikaji lebih dalam.
Menurut data OJK, pada akhir Juni 2025 terdapat 26,96 juta rekening PayLater aktif di sektor perbankan. Dibandingkan Maret yang hanya 24,59 juta, terjadi lonjakan signifikan dalam waktu singkat. Kenaikan ini sejalan dengan strategi agresif berbagai platform e-commerce dan layanan keuangan digital yang menawarkan program PayLater sebagai opsi pembayaran utama.
Meski secara persentase total kredit bank angka PayIater masih kecil, yaitu hanya sekitar 0,29% dari total kredit perbankan (Rp 8.059 triliun), namun pertumbuhan yang cepat inilah yang menjadi sorotan. Layanan ini menjangkau banyak kalangan, khususnya generasi muda dan pekerja urban yang cenderung ingin bertransaksi secara praktis tanpa harus memikirkan pembayaran di muka.
Baca Juga : Bursa IHSG 4 Agustus 2025 Dibuka Melemah pada Pagi Hari, Simak Penyebabnya!
Salah satu alasan utama meningkatnya penggunaan PayLater adalah karena kemudahannya. Dengan hanya beberapa klik di aplikasi, seseorang bisa membeli barang atau jasa tanpa mengeluarkan uang saat itu juga. Ini sangat menggoda, apalagi bagi mereka yang belum memiliki kartu kredit.
Namun, ada faktor lain yang lebih mendalam. Banyak masyarakat menggunakan PayLater bukan hanya untuk keinginan konsumtif, tetapi karena kebutuhan mendesak. Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, PayLater menjadi alternatif untuk membiayai kebutuhan harian, bahkan kebutuhan pokok.
Hal ini memperlihatkan bahwa daya beli sebagian masyarakat mulai melemah. Mereka tetap ingin mempertahankan gaya hidup atau memenuhi kebutuhan, tetapi kemampuan finansialnya menurun. Akibatnya, PayLater pun menjadi solusi jangka pendek yang tampaknya “mudah”, meski risikonya bisa panjang.
OJK menyebut bahwa sejauh ini tingkat risiko gagal bayar atau Non Performing Financing (NPF) dari PayLater masih terkendali. Meski begitu, pertumbuhan utang yang tidak diimbangi dengan peningkatan literasi keuangan dapat menyebabkan masalah serius di masa depan.
Sudah ada sinyal bahwa sebagian pengguna kesulitan membayar cicilan tepat waktu, apalagi ketika bunga dan denda mulai menumpuk. Hal ini berisiko mendorong beban keuangan yang tidak seimbang, terlebih jika pengguna memiliki lebih dari satu akun PayLater aktif tanpa pengelolaan yang baik.
Dalam beberapa kasus, pengguna terjebak dalam “lingkaran utang kecil” yang tidak terasa pada awalnya. Namun ketika semua tagihan jatuh tempo bersamaan, beban keuangan bisa melonjak drastis, bahkan memicu stres atau gangguan kesehatan mental.
Simak Juga : Berita Medis Terkini: Terobosan Vaksin Berbasis Genetik
Melihat tren ini, OJK berencana memperkuat pengawasan dan edukasi publik tentang penggunaan layanan keuangan digital. Target edukasi diarahkan terutama ke generasi muda yang menjadi pengguna terbanyak PayLater.
Penting untuk memahami bahwa PayIater bukan uang gratis. Ini adalah bentuk kredit konsumtif yang tetap harus dikembalikan, lengkap dengan kewajiban dan konsekuensinya. Memakai PayLater tanpa perencanaan sama saja seperti menumpuk utang tanpa arah.
PayLater bisa menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan dengan bijak. Namun, ia juga bisa menjadi jebakan finansial jika digunakan sembarangan. Di era serba instan ini, kemampuan untuk menunda keinginan dan merencanakan keuangan dengan matang jauh lebih penting daripada sekadar mengikuti kemudahan teknologi.
Menjadi melek finansial bukan pilihan, tapi kebutuhan. Karena sejatinya, kontrol keuangan bukan tentang seberapa besar penghasilan, tapi seberapa bijak kita mengelolanya. Dan PayLater, sebaiknya tetap menjadi alat bantu—bukan sumber masalah.