Nyata Nyata Fakta – Bank Dunia baru saja mengumumkan revisi tajam terhadap proyeksi pertumbuhan Ekonomi Global tahun 2025. Dalam laporan “Global Economic Prospects” terbarunya, pertumbuhan dunia diperkirakan hanya akan mencapai 2,3 persen, turun dari estimasi sebelumnya sebesar 2,7 persen. Jika prediksi ini terwujud, maka ini akan menjadi tingkat pertumbuhan tahunan global paling lambat di luar periode resesi sejak 2008.
Pemangkasan proyeksi ini mengindikasikan bahwa ekonomi global tengah memasuki fase yang lebih kompleks dan tidak dapat lagi hanya bergantung pada pemulihan pascapandemi atau momentum konsumsi jangka pendek. Dunia kini menghadapi tantangan struktural dan geopolitik yang berlapis, mulai dari tensi perdagangan, pelemahan manufaktur, hingga tekanan utang di negara berkembang.
Salah satu penyebab terbesar di balik koreksi ini adalah meningkatnya ketidakpastian dalam hubungan perdagangan internasional, khususnya akibat eskalasi tarif dan kebijakan proteksionis dari negara-negara besar. Amerika Serikat, misalnya, memperluas tarif terhadap sejumlah negara mitra dagang strategis, yang kemudian memicu aksi balasan dan menurunkan volume perdagangan global.
Bank Dunia menilai bahwa ketegangan dagang yang terus memanas dapat menciptakan efek lanjutan terhadap investasi swasta, pasokan barang global, serta kepercayaan pasar. Bahkan, jika tidak ditangani dengan cepat dan kolektif. Bank Dunia memperingatkan bahwa risiko stagnasi perdagangan bisa berlanjut hingga dua tahun ke depan.
Baca Juga : Krisis Imigrasi Picu Protes, Los Angeles Berlakukan Jam Malam
Dampak dari perlambatan ini terasa merata di berbagai kawasan, mulai dari negara maju hingga berkembang. Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 1,4 persen, separuh dari proyeksi sebelumnya. Di kawasan Euro, angka pertumbuhan bahkan lebih rendah, yaitu 0,7 persen menggambarkan stagnasi yang cukup dalam.
Sementara itu, China diprediksi tumbuh pada level 4,5 persen. Relatif stabil namun tetap berada dalam tekanan akibat perlambatan ekspor dan beban restrukturisasi sektor properti. Negara-negara berkembang seperti India masih menunjukkan daya tahan. Meski tetap berisiko tertekan jika akses pembiayaan internasional semakin ketat atau harga komoditas global berfluktuasi.
Kondisi ini turut menempatkan negara-negara berkembang dalam posisi yang rentan, terutama terkait beban utang. Bank Dunia mencatat bahwa lebih dari separuh dari 150 negara berkembang kini berada dalam kategori berisiko tinggi mengalami tekanan utang ekstrem.
Peningkatan biaya pinjaman, fluktuasi nilai tukar, dan turunnya arus investasi asing membuat posisi fiskal negara-negara ini makin terbebani. Jika tidak ada reformasi fiskal dan penguatan transparansi utang, situasi ini berpotensi memicu gelombang gagal bayar yang sistemik. Terutama di kawasan Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin.
Meskipun risiko resesi global secara umum masih dianggap rendah di bawah 10 persen menurut Bank Dunia organisasi ini mendorong perlunya tindakan kolektif dan koordinasi kebijakan antarnegara untuk mencegah krisis yang lebih dalam.
Beberapa rekomendasi utama yang diangkat antara lain:
Langkah-langkah tersebut dinilai penting untuk mencegah kondisi “dekade pertumbuhan terlemah sejak 1960-an”, seperti yang dikhawatirkan banyak ekonom global.