Nyata Nyata Fakta – Di balik gemerlapnya produk iPhone yang tersebar di seluruh dunia, terdapat sebuah mesin produksi raksasa yang sebagian besar beroperasi dari China. Dominasi pabrik-pabrik besar seperti milik Foxconn di Zhengzhou menjadi tulang punggung utama produksi iPhone. Bahkan menurut laporan terbaru, jumlah pekerja yang terlibat dalam proses manufaktur perangkat Apple di wilayah ini mencapai lebih dari 700.000 orang.
Jumlah ini bukan hanya mencengangkan, tetapi juga menyiratkan betapa besarnya tantangan bagi negara lain. Termasuk Amerika Serikat, untuk menggantikan posisi strategis China dalam rantai pasok global Apple. Dari sisi tenaga kerja, infrastruktur, hingga efisiensi logistik, China menawarkan kombinasi ideal yang sulit ditandingi dalam waktu singkat.
Ketika pemerintah AS mulai mendorong produsen teknologi untuk membawa pulang basis produksi mereka. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa upaya tersebut akan menghadapi hambatan serius. Bukan sekadar soal biaya produksi, tapi juga tentang ketersediaan dan kualitas tenaga kerja dalam skala industri besar.
Salah satu kekuatan utama China dalam mendominasi industri manufaktur global adalah kemampuannya menyatukan jumlah tenaga kerja terampil dalam jumlah besar di satu lokasi. Dalam sebuah wawancara ikonik di masa lalu. Steve Jobs pernah mengungkapkan bahwa Apple tidak bisa memindahkan produksinya ke AS karena tidak akan mampu menemukan puluhan ribu insinyur dalam waktu cepat sebagaimana yang tersedia di China.
Pernyataan itu kini terasa semakin relevan. Tim Cook, CEO Apple, beberapa kali menekankan bahwa keberadaan Apple di China bukan semata soal efisiensi biaya. Tetapi juga tentang kecepatan, fleksibilitas, dan akses langsung ke sumber daya manusia terlatih dalam jumlah masif.
Sebagai contoh, ketika Apple perlu mengubah desain perangkat keras iPhone pada menit-menit terakhir. Ribuan pekerja dapat segera dikumpulkan dan bekerja dalam waktu semalam untuk menyesuaikan produksi. Kecepatan semacam ini menjadi kunci sukses Apple dalam mempertahankan siklus rilis produknya yang sangat kompetitif.
“Baca Juga: Singapura Perketat Aturan Mi Instan dan Bumbu Lewat Nutrigrade”
Meskipun dorongan politik di Amerika Serikat untuk mengembalikan produksi dalam negeri kian kuat. Membangun ulang kapasitas produksi yang setara dengan China bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, investasi besar dalam pelatihan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur logistik dan teknologi pendukung.
Salah satu tantangan paling nyata adalah soal tenaga kerja industri manufaktur. Amerika saat ini mengalami kekurangan tenaga kerja di sektor manufaktur, terutama dalam bidang teknik dan produksi tingkat lanjut. Belum lagi masalah biaya tenaga kerja yang jauh lebih tinggi dibandingkan di Asia.
Pemerintah AS memang telah berupaya memperbaiki situasi ini melalui berbagai program insentif, termasuk potongan pajak dan subsidi untuk perusahaan teknologi yang membangun pabrik baru di wilayah Amerika. Namun hingga kini, hasilnya masih jauh dari cukup untuk menggantikan peran China secara menyeluruh.
Di tengah tantangan relokasi ke Amerika, Apple mulai melakukan diversifikasi produksi ke negara-negara lain seperti India dan Vietnam. India, khususnya, telah menerima investasi besar dari Apple dan mitranya, termasuk pembangunan pabrik iPhone dan peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal.
Meski demikian, proporsi produksi di luar China masih relatif kecil. Sekitar 85 persen produksi iPhone global masih berasal dari China, menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam diversifikasi, dominasi China masih belum tergoyahkan.
Diversifikasi ini lebih terlihat sebagai strategi mitigasi risiko geopolitik daripada upaya pemindahan total. Dengan ketegangan dagang antara AS dan China yang belum juga mereda, Apple tentu ingin mengurangi ketergantungan sepenuhnya pada satu negara tetapi bukan berarti akan menghentikan operasinya di sana dalam waktu dekat.
“Baca Juga: Langkah Taktis Trump Bebaskan Tarif Teknologi Demi Menjaga Stabilitas Ekonomi AS”
Selain faktor tenaga kerja, salah satu hal yang membuat China tetap unggul dalam rantai produksi global adalah ketersediaan infrastruktur industri teknologi tinggi. Negeri Tirai Bambu ini telah membangun ekosistem komponen elektronik, logistik, hingga fasilitas riset dan pengembangan yang terintegrasi.
Pusat-pusat dominasi produksi seperti di Shenzhen bukan hanya memproduksi iPhone, tapi juga menjadi rumah bagi ratusan perusahaan pemasok yang menyediakan berbagai komponen pendukung dalam radius yang sangat dekat. Hal ini mengurangi biaya logistik, mempercepat waktu produksi, dan meningkatkan efisiensi rantai pasok secara keseluruhan.
Amerika Serikat, jika ingin mengejar ketertinggalan, perlu mengembangkan ekosistem serupa secara terstruktur yang artinya bukan hanya membangun pabrik, tapi juga mendirikan pusat inovasi, pelatihan teknis, serta menghubungkan pemasok lokal dalam skala nasional.