Nyata Nyata Fakta – Memasuki pekan pertama Agustus 2025, pasar saham Indonesia langsung diguncang tekanan besar. Pada Senin, 4 Agustus 2025, Bursa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat dibuka menguat, tetapi dalam waktu singkat bergerak turun tajam. Pergerakan negatif ini membuat pelaku pasar kembali berhitung terhadap strategi mereka. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik koreksi cepat ini?
Bursa Efek Indonesia memulai hari perdagangan dengan cukup optimis. IHSG dibuka pada level 7.552,49, naik dari penutupan akhir pekan sebelumnya di angka 7.537,76. Namun hanya dalam 15 menit pertama perdagangan, indeks berbalik arah dan menyentuh 7.479,67, melemah sekitar 0,80%.
Sepanjang sesi pagi, IHSG bergerak dalam rentang 7.560 sebagai level tertinggi dan 7.465 di level terendah. Data transaksi mencatat lebih dari 339.000 kali perdagangan, melibatkan sekitar 4 miliar lembar saham dengan nilai transaksi Rp2,3 triliun.
Sebanyak 312 saham mengalami koreksi harga, sedangkan hanya 201 saham yang mencatat penguatan. Sisanya stagnan. Situasi ini memperlihatkan bahwa tekanan jual cukup merata di hampir semua sektor.
Baca Juga : Pemerintah Indonesia Siapkan Skema Impor Produk Pertanian Senilai 73 Triliun dari AS
Sektor yang paling menekan bursa IHSG adalah sektor barang baku (basic materials), yang mencatat penurunan hingga 1,42%. Pelemahan ini menjadi faktor utama IHSG terseret ke zona merah. Diikuti oleh sektor energi yang terkoreksi 1,16%, serta sektor teknologi yang turut melemah 0,95%.
Sektor infrastruktur juga mengalami penurunan sebesar 0,82%, sementara sektor kesehatan menjadi satu-satunya yang tetap bertahan di zona hijau dengan penguatan 0,47%.
Tekanan serentak di beberapa sektor strategis menunjukkan adanya kekhawatiran pasar terhadap kondisi makro dan potensi perlambatan kinerja sejumlah emiten besar.
Menurut sejumlah analis, pelemahan IHSG pagi ini tak lepas dari sentimen negatif eksternal, khususnya dari Amerika Serikat. Data ketenagakerjaan AS yang di bawah ekspektasi menimbulkan kekhawatiran pasar bahwa pemulihan ekonomi global bisa melambat. Efeknya terasa di bursa regional, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terpantau berada di kisaran Rp16.368 per dolar AS, menambah tekanan terhadap pasar domestik. Pelemahan nilai tukar kerap menjadi indikator kekhawatiran terhadap arus modal keluar atau ekspektasi kebijakan moneter yang ketat.
Simak Juga : Presiden Prabowo Beri Abolisi, Tom Lembong Resmi Bebas
Meski IHSG turun tajam, bukan berarti semua investor panik. Bagi sebagian pelaku pasar, kondisi ini justru memberi peluang untuk menerapkan strategi buy on weakness membeli saham berkualitas saat harga sedang koreksi.
Beberapa saham yang direkomendasikan oleh analis teknikal termasuk BMRI (Bank Mandiri), AGRO, dan WIRG, dengan catatan tetap berhati-hati dan menggunakan batas risiko (stop loss) yang disiplin.
Kondisi seperti ini juga menjadi momen penting bagi investor ritel untuk lebih selektif dalam menyusun portofolio, terutama dengan memperhatikan sektor yang masih mampu bertahan seperti sektor kesehatan hari ini.
Hari ini IHSG mungkin terlihat “terbakar”, namun kondisi ini bukan hal baru dalam dinamika pasar saham. Volatilitas adalah bagian dari risiko yang wajar dalam dunia investasi. Yang membedakan adalah bagaimana investor merespons: apakah sekadar panik, atau justru belajar untuk bersikap lebih strategis.
Pergerakan Bursa IHSG di awal pekan ini juga menunjukkan pentingnya memahami sektor-sektor yang sedang melemah atau menguat. Tidak semua saham turun, dan tidak semua sektor terpuruk. Diversifikasi tetap menjadi prinsip utama yang melindungi portofolio dari gejolak sesaat.
Untuk investor jangka panjang, koreksi adalah peluang. Namun untuk bisa memanfaatkannya, diperlukan pemahaman pasar, disiplin manajemen risiko, dan mental yang siap menghadapi ketidakpastian.