Nyata Nyata Fakta – Ketika publik sibuk mencermati pergerakan inflasi, nilai tukar, dan belanja pemerintah. Sebuah angka diam-diam melesat dan kini menjadi perhatian baru dalam diskursus ekonomi nasional utang luar negeri Indonesia menembus USD 431,5 miliar per April 2025. Jumlah ini setara dengan sekitar Rp 7.198 triliun, dan menandai pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen, naik tajam dari 6,4 persen di bulan sebelumnya.
Meski otoritas moneter menyebut struktur utang ini masih aman, fakta bahwa nilainya terus menanjak tak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi, lonjakan ini datang saat ketahanan fiskal sedang diuji oleh fluktuasi global dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Utang luar negeri Indonesia terdiri dari dua komponen utama: pemerintah dan swasta. Pada bulan yang sama, porsi pemerintah tercatat sebesar USD 208,8 miliar naik signifikan dibanding tahun sebelumnya, dengan laju pertumbuhan mencapai 10,4 persen.
Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari penarikan pinjaman bilateral dan multilateral. Serta meningkatnya minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah memanfaatkan dana tersebut untuk mendanai program infrastruktur, pendidikan, hingga ketahanan energi.
Sementara itu, sektor swasta justru mengalami kontraksi ringan. Total Utang Luar Negeri swasta per April 2025 tercatat USD 194,8 miliar, turun 0,6 persen secara tahunan. Ini menandakan bahwa dunia usaha masih berhati-hati dalam mengambil pinjaman luar. Terutama karena beban bunga global yang masih tinggi dan volatilitas nilai tukar.
Bank Indonesia menegaskan bahwa rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di angka 30,3 persen, turun dibanding bulan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa meski utangnya naik, kapasitas ekonomi untuk membayar utang juga ikut meningkat.
Namun, analisis tidak berhenti di sini. Pertanyaannya, apakah utang tersebut digunakan secara produktif? Dalam ekonomi modern, utang bukanlah hal tabu, asalkan digunakan untuk proyek-proyek yang menghasilkan nilai tambah jangka panjang bukan sekadar menambal defisit atau menutupi pembengkakan anggaran konsumtif.
Dalam konteks ini, transparansi menjadi kunci. Rakyat berhak mengetahui ke mana aliran dana utang digunakan, bagaimana kinerja proyek yang dibiayai, dan sejauh mana dampaknya terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan.
Di tengah ketegangan geopolitik global dan ketidakpastian pasar keuangan, utang luar negeri bisa menjadi pedang bermata dua. Kenaikan suku bunga The Fed, misalnya, dapat mendorong arus modal keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia. Jika ini terjadi bersamaan dengan pelemahan rupiah, maka nilai cicilan utang dalam bentuk dolar akan melonjak.
Sementara itu, ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal juga bisa membuat kebijakan fiskal menjadi kurang fleksibel. Ketika terlalu banyak pos anggaran tersandera oleh pembayaran bunga dan pokok utang, maka ruang fiskal untuk belanja produktif bisa menyempit.
Itulah sebabnya, meski angka rasio masih dianggap sehat, struktur dan efektivitas penggunaan utang menjadi isu yang jauh lebih krusial.
Simak Juga : Benang Merah Baru dalam Kasus Kematian Diplomat Muda Kemlu
Mengelola utang bukan sekadar soal menjaga rasio atau membayar tepat waktu. Lebih dari itu, utang harus diarahkan sebagai alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Di sinilah pentingnya manajemen risiko, diversifikasi pembiayaan, dan penguatan kapasitas fiskal domestik.
Pemerintah perlu memperluas basis pembiayaan dalam negeri, mendorong partisipasi investor lokal dalam pasar obligasi, serta meningkatkan kualitas proyek yang dibiayai utang agar memberikan dampak nyata dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas.
Dalam jangka panjang, menjaga kepercayaan investor dan publik adalah modal utama. Ketika pengelolaan utang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan terarah, maka utang tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan sebagai jembatan menuju pembangunan yang lebih tangguh.