Nyata Nyata Fakta – Sebuah temuan mengejutkan datang dari Kementerian Pertanian RI. Sebanyak 212 merek beras dinyatakan tidak memenuhi standar mutu, label, dan volume yang telah ditetapkan. Di balik kemasan premium dan harga tinggi, ternyata tersimpan praktik curang berupa pengoplosan beras dari produsen beras. Hal ini mereka lalukan dengan cara mencampur beras kualitas rendah dan menjualnya seolah-olah medium atau premium. Temuan ini membuka lembaran baru dalam persoalan tata niaga pangan di Indonesia, yang tidak hanya merugikan konsumen. Tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem distribusi pangan nasional.
Temuan ini disampaikan langsung oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam konferensi pers pada Juli 2025. Hasil investigasi yang dilakukan sejak 10 Juli itu menyebutkan bahwa praktik ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku usaha kecil. Tetapi juga melibatkan empat produsen beras yang tergolong besar yang saat ini tengah dalam penyelidikan aparat kepolisian.
Praktik curang ini umumnya dilakukan dengan cara mencampur beras kualitas rendah bahkan kadang dari stok lama kemudian dikemas ulang menggunakan label yang menyebut “beras premium” atau “beras organik”. Tidak hanya soal mutu yang tidak sesuai, berat isi kemasan pun seringkali di bawah standar yang tertera. Akibatnya, konsumen tidak hanya tertipu dari segi kualitas, tetapi juga secara kuantitas.
Dampaknya tidak main-main. Pemerintah memperkirakan bahwa praktik semacam ini menyebabkan kerugian ekonomi masyarakat mencapai Rp 100 triliun per tahun. “Ini bukan persoalan kecil. Kita berbicara soal kepercayaan masyarakat, soal keadilan harga, dan soal etika distribusi pangan,” ujar Menteri Amran dalam pernyataannya.
Menurut data dari Kementan, harga beras oplosan tersebut dinaikkan secara tidak wajar, yakni Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per kilogram lebih mahal dari harga seharusnya. Jika dikalikan dengan volume konsumsi nasional, maka angka kerugian itu menjadi masuk akal dan mengkhawatirkan.
Kementerian Pertanian telah menyerahkan hasil investigasi ini kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung. Saat ini, Bareskrim Polri tengah menyelidiki pelaku utama dan rantai distribusinya. Pemerintah menegaskan bahwa tidak akan ada kompromi dalam kasus ini, mengingat dampaknya yang sistemik dan merugikan jutaan rumah tangga di Indonesia.
Menteri Amran juga menyebut bahwa praktik oplosan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan kemungkinan kerugian akumulatifnya sejak satu dekade terakhir bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Ia mengimbau seluruh pelaku usaha di sektor pangan, khususnya produsen beras, untuk kembali pada prinsip integritas dan transparansi dalam berusaha.
Bagi konsumen, temuan ini menjadi peringatan penting tentang lemahnya pengawasan terhadap produk berlabel. Masyarakat yang mengira telah membeli beras berkualitas baik dengan harga tinggi, ternyata hanya menerima produk standar atau bahkan di bawah standar. Praktik ini jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan berpotensi menyebabkan gejolak kepercayaan pasar.
Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa stok beras nasional dalam kondisi aman, yakni sekitar 4,2 juta ton, sehingga proses penegakan hukum terhadap pelaku curang tidak akan mengganggu pasokan atau distribusi beras secara umum.
Langkah konkret ke depan adalah pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh merek beras yang beredar di pasaran, serta pengetatan regulasi terkait label, sertifikasi mutu, dan transparansi rantai pasok. Peran masyarakat juga diharapkan aktif, termasuk melaporkan produk yang mencurigakan melalui kanal resmi pengaduan.
Simak Juga : Akupunktur untuk Kesehatan Mental: Cara Tradisional Atasi Stres