Nyata Nyata Fakta – Data resmi Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,87 persen secara tahunan pada kuartal pertama tahun 2025. Angka ini tidak hanya meleset dari target pemerintah yang mematok angka di atas lima persen, namun juga mencerminkan performa terburuk sejak kuartal ketiga tahun 2021. Jika dilihat dari sisi kuartalan, ekonomi nasional bahkan mencatatkan kontraksi sebesar 0,98 persen, memperkuat kekhawatiran bahwa perekonomian bisa memasuki resesi teknikal apabila tren ini berlanjut.
Kondisi ini memunculkan alarm bagi pengambil kebijakan, pelaku usaha, hingga masyarakat luas. Perlambatan yang terjadi bukan sekadar angka statistik, namun mengandung dampak nyata bagi lapangan kerja, daya beli, hingga kepercayaan investor. Dengan pencapaian yang tidak menggembirakan ini, Indonesia perlu lebih waspada terhadap ancaman eksternal maupun internal yang bisa menambah beban ekonomi nasional.
Sejumlah analis menilai bahwa pencapaian ini merupakan sinyal awal dari guncangan yang lebih dalam. Tanpa intervensi dan strategi baru yang cepat dan terukur, potensi Indonesia mengalami resesi bukanlah sekadar prediksi kosong.
“Baca Juga: Industri Hollywood Terancam, Trump Terapkan Tarif Film Asing”
Salah satu penyumbang utama perlambatan ekonomi datang dari sektor industri pengolahan, khususnya non-migas. Pada kuartal pertama tahun ini, sektor tersebut hanya tumbuh sebesar 4,31 persen, menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 4,64 persen. Penurunan ini mencerminkan tekanan produksi yang signifikan di tengah kondisi global yang belum stabil.
Data Purchasing Managers Index (PMI) dari S&P Global juga mencerminkan situasi serupa. PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 tercatat hanya 46,7, yang berarti sektor ini berada dalam fase kontraksi. Angka tersebut berada di bawah ambang batas ekspansi sebesar 50, yang menjadi indikator bahwa pelaku industri sedang menghadapi berbagai hambatan operasional.
Turunnya performa industri pengolahan ini tentu berdampak luas. Tidak hanya mengurangi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB), tetapi juga memperkecil peluang penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor-sektor padat karya yang sangat bergantung pada pertumbuhan produksi nasional.
Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami perlambatan. Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan konsumsi hanya mencapai 4,89 persen. Padahal, periode tersebut bertepatan dengan momen Ramadan yang biasanya mendorong kenaikan pengeluaran masyarakat.
Fenomena ini mengindikasikan adanya pelemahan daya beli masyarakat. Harga kebutuhan pokok yang terus naik, ditambah ketidakpastian ekonomi, membuat konsumen cenderung menahan belanja. Ini berdampak langsung terhadap kinerja sektor ritel, perdagangan, hingga jasa, yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
Jika tren konsumsi yang lemah ini terus berlanjut, maka sulit mengharapkan pemulihan ekonomi dari sisi domestik. Pemerintah perlu memberikan stimulus tambahan dan strategi penyeimbangan daya beli, agar konsumsi rumah tangga dapat kembali menjadi pendorong pertumbuhan.
Investasi juga menunjukkan performa yang kurang menggembirakan. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh sebesar 2,12 persen secara tahunan, angka yang tergolong lemah untuk negara berkembang yang membutuhkan dorongan investasi dalam negeri maupun asing. Keterbatasan insentif dan ketidakpastian regulasi disebut sebagai faktor penghambat utama.
Di sisi lain, belanja pemerintah pun belum mampu menjadi penyeimbang. Pemangkasan transfer ke daerah dan efisiensi anggaran menyebabkan banyak proyek infrastruktur dan program sosial tertunda. Padahal, dalam kondisi ekonomi melambat, peran pemerintah sebagai mesin pertumbuhan sangat vital.
Ekonom dari CELIOS menyarankan agar pemerintah lebih proaktif dalam mendorong investasi hijau dan berorientasi pada sektor padat karya. Strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan transisi energi berbasis komunitas juga dinilai sebagai arah baru yang lebih tahan terhadap guncangan eksternal.
“Baca Juga: Bursa Efek Indonesia Siap Dibanjiri IPO: Perusahaan Beraset Jumbo Mendominasi Pipeline”
Dengan perlambatan yang terjadi di hampir semua sektor, pemerintah perlu mengevaluasi kembali arah kebijakan ekonomi nasional. Tidak cukup hanya mengandalkan stimulus sesaat, Indonesia harus membangun ketahanan ekonomi dari level paling bawah, yaitu komunitas dan daerah.
Salah satu pendekatan yang kini mulai dipertimbangkan adalah pengembangan ekonomi lokal berbasis keunggulan wilayah. Daerah-daerah dengan potensi pertanian, energi baru terbarukan, dan ekowisata bisa dijadikan titik tumpu pembangunan baru. Hal ini akan memperluas basis ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang rentan fluktuasi global.
Pemerintah pusat pun diharapkan membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi pelaku usaha kecil dan menengah, sekaligus memperbaiki sistem distribusi fiskal agar belanja negara bisa tepat sasaran dan berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang.