Nyata Nyata Fakta – Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memasuki fase krusial. Setelah berbulan-bulan ketegangan akibat saling balas tarif dan pembatasan ekspor, kedua negara bersiap untuk membuka lembaran baru untuk mengakhiri perang dagang melalui perundingan bilateral yang akan digelar di London pada Senin, 9 Juni 2025.
Pertemuan ini bukan sekadar diplomasi formal; ini adalah pertemuan dua raksasa ekonomi dunia yang saling bergantung namun terus bersitegang. Di tengah ketidakpastian global, semua mata kini tertuju pada ibu kota Inggris, tempat di mana arah baru hubungan dagang mungkin akan ditentukan.
Isyarat perdamaian pertama muncul pada 12 Mei lalu, saat kedua negara mencapai kesepakatan gencatan senjata dagang selama 90 hari dalam pertemuan di Jenewa. Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif impor atas produk Tiongkok menjadi 30 persen, sementara Beijing juga melonggarkan tarif balasan menjadi 10 persen.
Pasar menyambut baik langkah ini. Bursa saham global sempat melonjak, dan nilai tukar mata uang stabil sementara. Namun, euforia itu tak berlangsung lama. Presiden Donald Trump menuduh Tiongkok lamban dalam melaksanakan komitmennya, terutama terkait pelonggaran ekspor mineral langka dan komponen teknologi penting.
Tiongkok tak tinggal diam. Pemerintah Beijing menyalahkan tindakan sepihak Washington, termasuk pembatasan ekspor chip berbasis AI dan kebijakan visa terhadap pelajar asal Tiongkok. Ketegangan pun kembali meningkat, meski tidak sampai memicu gelombang tarif baru.
Baca Juga : Portofolio Sustainable: BRI Capai Rp796 Triliun Kuartal I 2025
Salah satu isu utama yang akan menjadi sorotan dalam perang dagang adalah pasokan rare earth atau mineral langka. Material ini sangat vital dalam industri kendaraan listrik, pertahanan, dan teknologi tinggi.
Setelah percakapan telepon antara Trump dan Xi Jinping pada 5 Juni lalu, Tiongkok dikabarkan memberikan sinyal positif dengan membuka kembali izin ekspor sementara kepada beberapa perusahaan AS. Namun, kelanjutan kebijakan ini masih bergantung pada hasil negosiasi London.
Bagi Amerika Serikat, akses stabil terhadap mineral ini adalah krusial. Sementara bagi Tiongkok, kendali atas pasokan tersebut merupakan alat negosiasi strategis yang tidak mudah dilepas.
Perundingan ini tidak hanya menyangkut angka-angka tarif atau volume ekspor. Isu yang akan dibahas jauh lebih luas, mencakup pengawasan teknologi, hak kekayaan intelektual, subsidi industri, hingga pembatasan visa pelajar. Semua topik ini telah menjadi sumber ketegangan dalam hubungan bilateral selama beberapa tahun terakhir.
Saling tuding antara kedua negara juga berdampak pada negara ketiga. Meksiko, Kanada, bahkan Eropa ikut terdampak oleh kebijakan dagang AS–Tiongkok, terutama karena efek domino terhadap rantai pasokan global dan pergerakan komoditas penting.
Ketegangan dagang selalu membawa konsekuensi langsung terhadap pasar. Bursa saham di New York, Shanghai, dan Tokyo telah berulang kali berfluktuasi tajam mengikuti arah kebijakan dua negara adidaya ini.
Produsen otomotif, pabrik chip, dan perusahaan logistik global pun turut bersiap. Biaya produksi, pasokan bahan mentah, serta waktu distribusi kini semakin tak bisa diprediksi tanpa kejelasan dari arah negosiasi dagang.
Dengan agenda yang padat dan tensi yang belum sepenuhnya mereda, pertemuan Senin mendatang di London menjadi pertaruhan besar. Jika menghasilkan kemajuan berarti, dunia bisa bernapas lega dari ketidakpastian rantai pasokan dan risiko tarif balasan.
Namun, jika kembali berakhir buntu atau retorika politik justru meningkat, risiko kembalinya perang dagang lebih besar dari sebelumnya. Kepercayaan investor bisa terkikis, dan perekonomian global akan kembali menghadapi tekanan.
Apapun hasilnya, satu hal jelas: perundingan ini bukan hanya tentang dua negara, tetapi tentang stabilitas ekonomi dunia.