Nyata Nyata Fakta – Ketika pasar keuangan global sedang bersiap menghadapi berbagai dinamika ekonomi dan politik, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tampak bergerak datar. Tidak banyak kejutan, tetapi bukan berarti tanpa tekanan. Salah satu faktor utama yang kini menjadi sorotan pelaku pasar adalah potensi kebijakan Tarif Trump dari Presiden AS yang akan segera di berlakukan pertengahan bulan juli. Kehadiran isu ini menempatkan rupiah dalam posisi yang rapuh tidak melemah signifikan, namun juga belum menunjukkan sinyal penguatan.
Dalam beberapa pekan terakhir, pasar global mulai mengantisipasi kemungkinan kebangkitan kembali kebijakan dagang agresif ala Donald Trump. Termasuk rencana tarif tinggi terhadap produk asal China. Jika rencana ini terwujud, maka arus perdagangan global dipastikan akan kembali terganggu.
Indonesia, sebagai bagian dari rantai pasok Asia dan pasar berkembang, bisa terdampak dalam beberapa lapis. Pertama, gangguan perdagangan global akan memukul kinerja ekspor dan menyebabkan tekanan pada neraca dagang. Kedua, kekhawatiran investor terhadap risiko global bisa memicu capital outflow dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, rupiah berada di bawah tekanan sentimen, meskipun belum tergelincir ke level krusial. Nilai tukar cenderung bertahan di kisaran Rp16.300-an per dolar AS, menandakan pasar masih menunggu arah kebijakan lebih lanjut.
Baca Juga : Ancaman Fraud Mengintai Industri Pinjaman Online, Ini Strategi untuk Menangkalnya
Meski gerak rupiah saat ini relatif stabil, Bank Indonesia (BI) tidak tinggal diam. BI terus menjalankan peran aktif di pasar dengan strategi triple intervention. Yakni intervensi di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
Tujuannya bukan sekadar menjaga nilai tukar rupiah dari tekanan berlebih. Tetapi juga menjaga ekspektasi pelaku pasar agar tetap positif terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia per Mei 2025 masih dalam kondisi yang sehat, memberi ruang bagi BI untuk tetap aktif di pasar jika tekanan tiba-tiba meningkat.
Selain menanti arah kebijakan Trump, investor global juga menanti rilis data ekonomi Amerika Serikat dan sinyal suku bunga dari Federal Reserve (The Fed). Data tenaga kerja, inflasi, serta ekspektasi pemangkasan suku bunga masih menjadi kompas utama pasar saat ini.
Jika The Fed menahan suku bunga lebih lama karena inflasi yang masih tinggi, maka dolar AS bisa kembali menguat, memberi tekanan tambahan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Sebaliknya, jika The Fed memberikan sinyal pelonggaran, maka ruang bagi rupiah menguat kembali akan terbuka.
Untuk saat ini, para pelaku pasar memilih berhati-hati dan mempertahankan posisi, menanti kejelasan arah kebijakan global.
Simak Juga : Istilah Shylock Kembali Hidup Lewat Ucapan Kontroversial Trump dalam Pidato Pajak
Dari sudut pandang pelaku pasar, kondisi rupiah saat ini tergolong “aman tapi belum nyaman.” Likuiditas valas di dalam negeri masih cukup terjaga, dan tekanan dari sisi neraca transaksi berjalan belum menjadi ancaman besar. Namun, semua bisa berubah cepat bila kebijakan eksternal—terutama dari Amerika Serikat berubah arah.
Pasar domestik juga menunggu arah kebijakan fiskal pemerintah Indonesia usai pemilu, serta strategi jangka pendek untuk menjaga iklim investasi tetap kondusif. Menjaga kepercayaan pelaku pasar adalah kunci. Dan selama itu terjaga, rupiah masih punya alasan untuk bertahan meskipun dunia di sekelilingnya tengah bergejolak.