Nyata Nyata Fakta – Keputusan parlemen Iran untuk menyetujui penutupan Selat Hormuz, jalur vital yang mengangkut hampir 20% pasokan minyak dan gas dunia. Hal ini menjadi sinyal keras bagi stabilitas energi global di dunia. Jika rencana ini benar-benar dilaksanakan, dampaknya tidak hanya terasa di negara-negara Teluk atau konsumen besar seperti Tiongkok dan India. Indonesia pun berpotensi terdampak langsung, terutama dari sisi logistik dan subsidi energi.
Walau belum disahkan penuh oleh Dewan Keamanan Nasional Iran, ancaman ini telah cukup untuk mendorong harga minyak dunia ke titik kritis dan menciptakan kegelisahan di pasar energi internasional.
Selat Hormuz merupakan jalur sempit di antara Teluk Persia dan Teluk Oman, dan dikenal sebagai jalur pengapalan minyak paling strategis di dunia. Rata-rata, sekitar 17 hingga 20 juta barel minyak per hari melintasi selat ini termasuk sebagian besar ekspor gas alam cair (LNG) dari Qatar, yang menjadi salah satu pemasok utama LPG ke Indonesia.
Jika jalur ini benar-benar ditutup atau terganggu, maka pengiriman LNG ke Indonesia harus melalui jalur alternatif yang lebih panjang, lebih mahal, dan berisiko tertunda.
Baca Juga : Anggota Kongres AS Terbelah Soal Serangan terhadap Iran
Analis memperkirakan bahwa penutupan Selat Hormuz dapat memicu lonjakan harga minyak global yang ekstrem, bahkan diprediksi dapat menembus USD 100 hingga USD 130 per barel. Bagi Indonesia yang sebagian besar kebutuhan BBM dan LPG-nya masih diimpor, kenaikan ini akan berdampak langsung pada struktur anggaran subsidi energi.
Pemerintah selama ini menanggung selisih antara harga pasar dan harga jual BBM bersubsidi, seperti Pertalite dan LPG 3 kg. Maka, saat harga internasional naik drastis, beban APBN bisa membengkak, kecuali ada penyesuaian cepat di sisi distribusi dan kebijakan energi.
Selain sektor energi, potensi terganggunya distribusi via Selat Hormuz akan meningkatkan biaya logistik secara menyeluruh. Jalur pengiriman yang lebih panjang, tarif asuransi kapal yang meningkat, dan risiko keamanan akan membuat ongkos distribusi barang lebih mahal.
Efeknya bisa berantai:
Sektor industri dan UMKM yang bergantung pada distribusi energi dan bahan baku dari luar negeri akan menjadi kelompok rentan pertama yang terkena dampaknya.
Simak Juga : Pasar Kripto Alami Likuidasi Besar-Besaran, Rp 8 Triliun Lenyap dalam Hitungan Jam
PT Pertamina, sebagai salah satu pihak utama yang bertanggung jawab atas rantai pasok energi nasional, telah menyiapkan jalur alternatif, seperti pengalihan rute pengiriman melalui Oman dan India. Meski langkah ini penting untuk menjaga keberlanjutan pasokan, tetap ada konsekuensi: biaya operasional bertambah, dan waktu tempuh logistik menjadi lebih lama.
Selain itu, pemerintah perlu mempercepat langkah-langkah mitigasi lain seperti:
Ketegangan geopolitik seperti ini menjadi pengingat bahwa ketahanan energi nasional sangat erat kaitannya dengan kondisi global. Indonesia perlu meninjau kembali ketergantungan pada impor energi, khususnya LPG dan BBM dari kawasan Timur Tengah.
Dalam jangka panjang, situasi ini bisa menjadi momen penting untuk:
Penutupan Selat Hormuz mungkin belum terjadi, tetapi dampak antisipatifnya harus mulai disiapkan sejak dini. Ketahanan energi bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga tentang adaptasi, efisiensi, dan kebijakan yang tanggap terhadap krisis global.