
Suasana Keraton Surakarta jelang Jumenengan PB XIV di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (15/11/2025).
Nyata Nyata Fakta – Jumenengan PB XIV menghadirkan nuansa berbeda tahun ini. Tidak ada Bedhaya Ketawang, tarian sakral yang biasanya menjadi pusat perhatian dalam tradisi panjang keraton. Namun, perubahan ini justru membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Banyak warga merasakan bahwa momentum pelantikan raja baru tidak hanya tentang ritual, tetapi tentang transformasi budaya yang tetap menjaga akar tanpa kehilangan arah. Dalam suasana yang hangat dan penuh harapan, masyarakat berkumpul untuk menyaksikan tradisi yang terus hidup meski bergerak mengikuti zaman.
Sejak pagi, kawasan sekitar keraton terasa lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena rasa penasaran, atau mungkin karena kerinduan akan kebersamaan yang sudah lama menjadi jantung Yogyakarta. Ada ibu-ibu yang datang dengan anak mereka, para perajin yang berhenti sejenak dari pekerjaannya, dan kaum muda yang mengabadikan setiap sudut dengan ponsel mereka. Meski tanpa Bedhaya Ketawang, banyak yang merasa momentum ini tetap sakral. Karena pada akhirnya, kebudayaan tidak hanya hidup melalui ritual, tetapi melalui hati yang mencintainya.
Sementara itu, polisi telah mengatur jalur dan memberikan imbauan untuk memastikan perayaan berlangsung aman dan nyaman. Sebagian warga bahkan sempat berbincang ringan dengan petugas, menciptakan suasana akrab yang jarang terlihat dalam acara besar lain.
Kirab menjadi bagian yang paling ditunggu dalam Jumenengan PB XIV, terutama karena masyarakat Yogyakarta terbiasa mengenal kirab sebagai representasi keharmonisan antara raja dan rakyat. Tahun ini, suasananya terasa semakin emosional. Tanpa Bedhaya Ketawang, perhatian publik tertuju sepenuhnya pada kirab dan wibawa yang terpancar dari setiap langkah.
• Keraton → Jalan Rotowijayan
• Rotowijayan → Alun-Alun Utara
• Alun-Alun Utara → Jalan Wijayakusuma
• Jalan Wijayakusuma → Keben
• Kembali ke Keraton melalui pintu utama
Warga Yogyakarta sudah memadati setiap sudut sejak pagi. Mereka tidak hanya ingin melihat kirab, tetapi juga ingin merasakan energi kolektif yang muncul dari kebersamaan ribuan orang. Meskipun panas matahari cukup menyengat, semangat masyarakat tidak surut. Banyak yang membawa payung, kain jarik, atau kipas tradisional, menciptakan pemandangan khas Nusantara yang jarang terlihat di kota besar lain.
Polisi yang berjaga memberikan imbauan penting, termasuk larangan membawa petasan, himbauan menjaga ketertiban, serta ajakan untuk tidak memblokir jalur evakuasi. Selain itu, aparat juga meminta warga untuk tidak berdesak-desakan dan tetap memprioritaskan keselamatan anak-anak serta lansia. Di beberapa titik, petugas terlihat membantu orang tua yang kesulitan berjalan atau anak kecil yang terpisah dari keluarganya.
Informasi rute kirab dan penataan lalu lintas ini juga disampaikan oleh sejumlah media nasional seperti Kompas, yang menekankan pentingnya kesiapan kota menghadapi arus pengunjung besar saat Jumenengan berlangsung.
Di sepanjang perjalanan kirab, banyak momen kecil yang menghangatkan hati. Seorang bapak tua terlihat menangis pelan ketika rombongan lewat. Ia mengaku sudah hampir 20 tahun tidak menyaksikan prosesi sebesar ini. Ada pula sekelompok pelajar yang menyanyikan lagu-lagu tradisional dengan penuh semangat. Semua momen itu menjadi bukti bahwa tradisi bukan hanya milik generasi tua — generasi muda pun ikut menjaganya.
Infromasi Lainnya :
Walaupun Jumenengan PB XIV tahun ini berlangsung tanpa Bedhaya Ketawang, antusiasme masyarakat tetap luar biasa. Perubahan yang terjadi tidak mengurangi rasa haru. Bahkan, banyak warga merasa momentum ini menjadi pengingat bahwa budaya tidak selalu harus berjalan sama untuk tetap memiliki makna. Tradisi bisa tetap kuat meski mengalami penyesuaian.
Di sisi keamanan, polisi menegaskan beberapa poin penting:
• Masyarakat diminta datang lebih awal untuk mengurangi kepadatan di titik-titik masuk.
• Pengunjung dilarang memanjat pagar, bangunan, atau monumen demi alasan keselamatan.
• Motor dan mobil pribadi diarahkan ke kantong parkir resmi.
• Pengunjung diminta tetap menjaga kebersihan area perayaan.
Imbauan itu disampaikan dengan cara persuasif dan ramah, sesuai karakter Yogyakarta yang dikenal lembut. Banyak pengunjung bahkan memberikan apresiasi kepada petugas karena tetap membantu dengan senyum dan kesabaran meski menghadapi kerumunan besar.
Selain soal keamanan, pihak kepolisian juga mengajak masyarakat untuk menjadikan perayaan ini sebagai ruang kebersamaan. Mereka mengingatkan bahwa kirab bukan sekadar tontonan, tetapi momentum untuk merawat budaya. Ajakan sederhana ini langsung terasa dampaknya. Banyak pengunjung menahan diri untuk tidak mendorong, tidak menyalakan petasan, dan tetap menghormati prosesi.
Dalam keramaian itu, terlihat jelas bagaimana masyarakat merasa memiliki acara ini. Ada rasa bangga, rasa hormat, dan rasa cinta terhadap tanah Yogyakarta. Dan perubahan yang terjadi tahun ini bukan dianggap hilangnya tradisi, melainkan sebuah babak baru dalam perjalanan panjang kebudayaan Jawa.
Jumenengan PB XIV tanpa Bedhaya Ketawang memberikan makna baru bagi warga Yogyakarta. Tradisi ini tidak kehilangan wibawanya. Justru, ia menunjukkan bahwa budaya dapat bertumbuh tanpa kehilangan akarnya. Kirab yang mengalir lembut melintasi kota menjadi gambaran betapa erat hubungan masyarakat dengan warisan leluhur mereka.
Polisi mengimbau dengan penuh hormat, masyarakat menyambut dengan hangat, dan Yogyakarta kembali menunjukkan bahwa harmoni bisa diciptakan ketika semua pihak berjalan bersama. Tidak ada yang benar-benar hilang — hanya berubah bentuk, tumbuh, dan menemukan relevansi baru.
Bagi siapa pun yang menyaksikan atau hanya membaca kisahnya, perayaan ini mengingatkan kita bahwa tradisi bukan sesuatu yang kaku. Ia hidup, bergerak, dan terus memberi ruang bagi generasi berikutnya untuk merawatnya dengan cara mereka sendiri.