Nyata Nyata Fakta – Sejak awal Agustus 2025, serangan udara Israel kembali serang Gaza dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Data dari Pertahanan Sipil Gaza mencatat lebih dari 1.000 bangunan hancur hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Ratusan orang diduga masih tertimbun di bawah reruntuhan, sementara tim penyelamat berjuang di tengah keterbatasan akses dan peralatan.
Ledakan demi ledakan tidak hanya merobohkan infrastruktur, tetapi juga menorehkan luka mendalam dalam memori kolektif masyarakat. Jalanan yang dahulu penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi hamparan puing, dengan asap masih mengepul dari sisa bangunan. Situasi ini menggambarkan betapa rapuhnya kehidupan sipil di wilayah yang telah lama terjebak dalam konflik berkepanjangan.
Kehancuran fisik hanyalah satu sisi dari bencana ini. Lebih dari itu, krisis kemanusiaan yang menyertainya memperlihatkan penderitaan yang jauh lebih dalam. Warga Gaza kini menghadapi kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, serta tempat tinggal yang layak. Rumah sakit kewalahan menerima korban luka, sementara akses bagi ambulans dan tenaga medis terhambat oleh jalan yang tertutup puing.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan banyak korban yang tidak sempat mendapat pertolongan karena minimnya fasilitas medis dan terputusnya pasokan listrik. Situasi ini diperburuk oleh keterbatasan suplai bahan bakar, membuat generator rumah sakit tidak dapat beroperasi penuh. Kondisi ini menambah jumlah korban meninggal yang seharusnya masih bisa diselamatkan.
Baca Juga : Ricuh di Depan Gedung DPR, Aksi Massa Dibubarkan Polisi dengan Water Cannon
Laporan dari PBB menggambarkan kondisi Gaza dengan perbandingan yang mencengangkan. Diperkirakan hampir 70 persen bangunan di seluruh wilayah telah rusak atau hancur. Skala kerusakan ini bahkan disebut melampaui kehancuran kota-kota seperti Dresden dan Hamburg pada masa Perang Dunia II.
Tantangan berikutnya adalah pembersihan puing yang jumlahnya mencapai puluhan juta ton. Perkiraan awal menyebutkan, hanya untuk membersihkan reruntuhan dibutuhkan waktu puluhan tahun dan biaya lebih dari 1 miliar dolar AS. Rekonstruksi tidak hanya berarti membangun kembali rumah dan sekolah, tetapi juga membangun ulang identitas sosial dan komunitas yang terkoyak.
Di tengah kehancuran Israel Serang Gaza, warga sipil berusaha menjalani hari-hari mereka dengan penuh ketidakpastian. Banyak keluarga tinggal di tenda darurat di dekat reruntuhan rumah mereka, sementara sebagian lainnya mencari perlindungan di gedung-gedung publik yang tersisa. Namun, ruang yang terbatas membuat banyak orang hidup berdesakan tanpa fasilitas memadai.
Psikolog menilai trauma akibat kehilangan orang tercinta dan kehancuran lingkungan akan membekas dalam jangka panjang. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, menghadapi masa depan yang suram tanpa pendidikan yang layak serta lingkungan yang aman. Harapan untuk kembali ke kehidupan normal kian memudar seiring berlanjutnya serangan dan belum adanya tanda perdamaian.
Simak Juga : Trump Pecat Kepala Intelijen Pertahanan AS ‘Jeffrey Kruse’, Apa Alasannya?
Tantangan besar berikutnya bukan hanya menghentikan serangan, melainkan bagaimana membangun kembali Gaza. PBB dan lembaga kemanusiaan internasional telah memperingatkan bahwa rekonstruksi bisa memakan waktu hingga ratusan tahun jika kondisi politik tidak mendukung. Dana besar yang dibutuhkan juga menjadi pertanyaan, di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian.
Namun, lebih dari sekadar membangun gedung, rekonstruksi Gaza berarti memulihkan martabat manusia. Rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah harus dibangun kembali agar masyarakat dapat menjalani kehidupan normal. Tanpa itu, Gaza akan tetap menjadi simbol kehancuran yang dibiarkan begitu saja.