Nyata Nyata Fakta – Harga Bitcoin kembali mencatatkan rekor tertingginya. Aset kripto terbesar di dunia ini resmi menembus level Rp1,86 miliar per BTC, mencetak sejarah baru dalam lintasan pergerakannya. Kenaikan yang mencolok ini bukan hanya menggugah minat investor ritel. Tetapi juga mempertegas posisi Bitcoin sebagai salah satu instrumen keuangan global yang tak bisa lagi diabaikan oleh institusi besar.
Fenomena ini terjadi di tengah meningkatnya optimisme pasar, pelonggaran kebijakan moneter, dan kebijakan strategis yang ramah terhadap kripto di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat.
Salah satu pendorong utama dari lonjakan Harga Bitcoin kali ini adalah masuknya modal besar dari institusi keuangan global. Sejak peluncuran Exchange Traded Fund (ETF) Bitcoin spot pada awal 2024, permintaan terhadap BTC meningkat tajam. Produk ETF yang diterbitkan oleh raksasa seperti BlackRock dan Fidelity ini memudahkan investor konvensional untuk membeli eksposur ke Bitcoin tanpa harus memiliki dompet kripto secara langsung.
Tak hanya itu, langkah sejumlah perusahaan seperti MicroStrategy, Tesla, dan bahkan Trump Media dalam menambah kepemilikan Bitcoin di neraca keuangan mereka juga menjadi katalis yang memperkuat sentimen pasar. Mereka tidak sekadar berinvestasi, melainkan mengadopsi strategi “Bitcoin treasury” yang menempatkan BTC sebagai cadangan nilai jangka panjang.
Baca Juga : AS Kenakan Tarif Impor Tembaga Sebesar 50% Efektif per Tanggal 1 Agustus 2025
Pemerintah Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump di periode keduanya, mengambil langkah tak terduga yang mempercepat adopsi Bitcoin. Dalam sebuah pernyataan kontroversial namun berani. Gedung Putih mengumumkan rencana untuk membentuk Strategic Bitcoin Reserve sebuah cadangan nasional berbasis aset digital.
Langkah ini disambut positif oleh pelaku pasar karena menunjukkan bahwa pemerintah kini melihat Bitcoin bukan sebagai ancaman sistem keuangan. Tetapi sebagai potensi alat lindung nilai (hedging) di tengah ketidakpastian global.
Kondisi ekonomi makro global turut berperan penting. Pelonggaran kebijakan suku bunga oleh The Federal Reserve, serta pelemahan Dolar AS dalam beberapa pekan terakhir, mendorong arus dana masuk ke aset-aset non-tradisional, termasuk kripto.
Bitcoin, yang sejak lama dianggap sebagai “emas digital”, kembali memperoleh popularitas sebagai safe haven di tengah gejolak geopolitik dan ketegangan perdagangan global. Apalagi, suplai BTC yang terbatas maksimal hanya 21 juta koin membuat narasi kelangkaan (scarcity) menjadi semakin relevan dalam konteks inflasi.
Simak Juga : Kurangi Kafein Setelah Jam 4 Sore Agar Tidur Lebih Nyenyak
Meski tren saat ini positif, beberapa analis memperingatkan bahwa euforia pasar bisa saja menciptakan bubble baru. Terutama jika harga terus naik tanpa dukungan fundamental jangka panjang.
Resistensi teknikal diperkirakan berada di kisaran USD 118.000 hingga USD 120.000. Jika Bitcoin gagal menembus area ini dengan volume yang kuat, maka koreksi harga jangka pendek sangat mungkin terjadi. Selain itu, korelasi yang masih tinggi antara Bitcoin dan pasar saham membuatnya rentan terhadap guncangan eksternal seperti sentimen The Fed atau konflik internasional.
Lonjakan harga Bitcoin kali ini menandai lebih dari sekadar angka baru di grafik. Ia menegaskan bahwa Bitcoin telah masuk ke babak baru bukan lagi sebagai alat spekulasi semata, tetapi sebagai bagian dari struktur keuangan global yang sah.
Di Indonesia, perhatian terhadap kripto juga meningkat, terlihat dari pertumbuhan jumlah investor aset digital di platform seperti Indodax, Tokocrypto, dan Pintu. Pemerintah pun terus mematangkan kerangka regulasi melalui Bappebti dan OJK.
Yang jelas, Bitcoin tidak lagi sekadar perbincangan komunitas teknologi. Ia kini berada di tengah panggung ekonomi dunia, bersiap memengaruhi cara kita memandang nilai, investasi, dan masa depan uang.