Nyata Nyata Fakta – Langkah Amerika Serikat untuk menerapkan tarif impor tembaga sebesar 50 persen mulai 1 Agustus 2025 menjadi sinyal kuat kembalinya gelombang kebijakan proteksionisme. Bukan sekadar kebijakan dagang biasa, tarif ini membawa dampak global terhadap rantai pasok, harga komoditas, dan lanskap industri teknologi serta energi.
Presiden Donald Trump, yang kembali menjabat sejak awal 2025, mengesahkan kebijakan ini melalui mekanisme Section 232 dengan dalih perlindungan keamanan nasional. Pemerintah AS menilai bahwa ketergantungan pada tarif impor tembaga khususnya dari negara seperti Chili, Kanada, dan Peru menyisakan celah risiko terhadap kebutuhan strategis dalam negeri. Terutama untuk sektor energi, militer, dan manufaktur teknologi tinggi.
Tembaga bukan hanya logam biasa. Ia adalah komponen vital di hampir semua infrastruktur modern: dari jaringan listrik, baterai kendaraan listrik, chip komputer, hingga instalasi energi terbarukan. Saat dunia beralih ke sistem berbasis energi bersih dan konektivitas tinggi, permintaan tembaga melonjak tajam.
Namun, selama beberapa dekade terakhir, kapasitas produksi dan pengolahan tembaga di AS mengalami stagnasi. Sekitar 45 persen kebutuhan tembaga AS dipenuhi lewat impor, terutama dari Amerika Selatan dan Kanada. Ketergantungan ini dianggap sebagai kelemahan strategis, terlebih dalam konteks persaingan teknologi dan geopolitik global.
Segera setelah pengumuman tarif baru tembaga ini, harga tembaga melonjak tajam di pasar global. Lonjakan hingga 13 persen dalam satu hari perdagangan mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi gangguan suplai. Serta tekanan biaya produksi di berbagai sektor industri.
Produsen perangkat elektronik, otomotif, dan komponen energi terbarukan kini menghadapi kenyataan bahwa biaya bahan baku mereka akan meningkat secara signifikan. Tidak hanya di AS, tapi juga secara global karena pasar tembaga bersifat saling terhubung. Analis memperkirakan bahwa tarif ini bisa berdampak pada harga konsumen dalam bentuk kenaikan harga produk jadi seperti AC, kabel listrik, kendaraan listrik, bahkan perangkat rumah pintar.
Kebijakan ini disahkan melalui jalur Section 232. Suatu mekanisme hukum di AS yang memungkinkan pemerintah mengenakan tarif atas dasar ancaman terhadap keamanan nasional. Namun, para pengamat menilai bahwa narasi keamanan hanya menjadi pembungkus dari agenda yang lebih luas: melindungi industri dalam negeri dan merebut kembali pangsa produksi strategis dari dominasi luar negeri, termasuk China.
Presiden Trump sendiri menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya “membangun ulang kemampuan industri AS”. Dengan rencana jangka panjang untuk mendorong pembukaan kembali tambang dan pembangunan smelter baru. Namun pembangunan fasilitas tersebut bukan perkara cepat diperlukan waktu bertahun-tahun, biaya besar, serta melewati persetujuan lingkungan yang ketat.
Sejauh ini belum ada respons resmi dari negara-negara mitra dagang seperti Kanada, Chili, atau Peru. Namun, potensi gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan langkah balasan berbentuk tarif terhadap ekspor AS bukan hal yang mustahil.
Selain itu, langkah ini dinilai menambah ketidakpastian global, terutama ketika negara-negara sedang mencoba menyeimbangkan antara pemulihan ekonomi dan transisi energi hijau.
Simak Juga : Quality Time Orang Tua dan Anak: Kunci Kehangatan dalam Keluarga
Kebijakan tarif tembaga AS ini membuka ruang diskusi yang lebih luas sejauh mana negara-negara besar dapat (dan boleh) menggunakan alasan “keamanan nasional” untuk mengatur ulang peta perdagangan global? Apakah kebijakan semacam ini akan mendorong pembangunan kapasitas dalam negeri, atau justru menciptakan fragmentasi pasar yang lebih dalam?
Di sisi lain, negara berkembang terutama penghasil tembaga seperti Indonesia dan Zambia melihat peluang baru untuk memasuki rantai pasok alternatif. Tapi itu hanya jika mereka mampu memastikan stabilitas regulasi dan menarik investasi jangka panjang.
Yang jelas, kebijakan tembaga AS ini bukan hanya urusan logam. Ia mencerminkan pergeseran arah global: dari dunia yang dulunya mendorong keterbukaan, kini menuju era baru proteksi yang berbalut justifikasi strategis.