Nyata Nyata Fakta – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kembali membuka diskusi publik mengenai kemungkinan penyesuaian tarif ojek online (ojol). Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah mengundang berbagai pihak mulai dari asosiasi pengemudi, perusahaan aplikator, hingga lembaga independen untuk membahas rencana kenaikan tarif ojol dalam waktu dekat.
Langkah ini memicu perhatian luas karena menyentuh kepentingan tiga pihak utama: pengemudi, perusahaan platform, dan pengguna jasa. Meski belum ada keputusan resmi, sinyal akan adanya penyesuaian tarif yang mulai menguat.
Dalam pembahasan awal, disebutkan bahwa kenaikan tarif yang diusulkan berkisar antara 8 persen hingga 15 persen. Besaran ini akan disesuaikan dengan tiga zona operasional layanan ojol di Indonesia. Setiap zona memiliki karakteristik biaya operasional yang berbeda, seperti kepadatan lalu lintas, jarak tempuh rata-rata, hingga daya beli masyarakat.
Namun, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Aan Suhanan, menekankan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan final. Proses pengkajian masih berlangsung, dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan kebijakan yang nantinya diambil bersifat adil dan proporsional.
“Kita sedang mendengarkan semua masukan, dari asosiasi pengemudi, aplikator, dan juga pengguna. Tujuannya agar kebijakan ini tidak timpang,” ujarnya.
Baca Juga : Prabowo Siapkan Renovasi 2 Juta Rumah 2025, Anggaran Rp 43,6 Triliun
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi ini adalah besaran potongan yang dikenakan perusahaan aplikasi terhadap pendapatan mitra pengemudi. Beberapa pengemudi melaporkan potongan komisi yang bisa mencapai hingga 70 persen. Hal ini menjadi sorotan serius bagi Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), yang menilai bahwa kenaikan tarif tidak akan berdampak signifikan jika potongan platform tidak diturunkan.
Menurut SPAI, idealnya potongan komisi dibatasi maksimal 10 persen agar pengemudi bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Tanpa kebijakan yang mengatur komisi tersebut, maka potensi kenaikan tarif hanya akan memperbesar margin keuntungan platform tanpa meningkatkan kesejahteraan pengemudi.
Di sisi lain, perusahaan aplikasi seperti Gojek, Grab, dan Maxim juga memiliki pertimbangan tersendiri. Mereka menekankan pentingnya menjaga tarif tetap kompetitif agar pengguna tidak berpindah ke moda transportasi lain. Terlebih, kenaikan tarif yang signifikan berisiko menurunkan jumlah perjalanan dan menurunkan pemasukan pengemudi itu sendiri dalam jangka panjang.
Karena itu, dibutuhkan keseimbangan yang cermat antara tarif yang layak bagi pengemudi dan tarif yang masih dapat dijangkau oleh pengguna.
“Jika terlalu tinggi, pengguna bisa menolak. Jika terlalu rendah, pengemudi tidak akan bisa bertahan. Titik tengah ini yang sedang kita cari,” jelas Aan Suhanan.
Simak Juga : Harga Emas Naik Tajam, Ini Tanda-Tanda Sinyal Tren Bullish Mulai Berlangsung
Sebagai bagian dari proses pengambilan kebijakan, Kemenhub telah menggandeng lembaga independen dan akademisi untuk melakukan kajian menyeluruh. Selain itu, forum diskusi lanjutan juga akan digelar dengan melibatkan DPR, organisasi pengemudi, serta perwakilan aplikator.
Hasil kajian ini nantinya akan menjadi dasar penyusunan revisi regulasi terkait tarif ojek online, termasuk kemungkinan pengaturan ulang komponen tarif seperti tarif dasar, biaya jasa minimum, serta batas potongan komisi dari platform.
Bagi pengemudi, keputusan ini sangat krusial. Mereka berharap ada kebijakan yang berpihak kepada pekerja lapangan yang selama ini menjadi ujung tombak layanan transportasi berbasis aplikasi. Namun bagi konsumen, kekhawatiran juga muncul: apakah kenaikan tarif akan membuat mereka enggan lagi menggunakan ojol dalam keseharian?
Pemerintah kini berada di tengah dua kepentingan yang sama-sama penting. Keputusan apapun nantinya akan mencerminkan seberapa jauh negara berpihak kepada keadilan ekonomi dan kesejahteraan semua pelaku dalam ekosistem transportasi daring.