Nyata Nyata Fakta – Tidak semua orang harus menamatkan kuliah untuk meraih kesuksesan. Lucy Guo adalah buktinya. Di usia 30 tahun, ia bukan hanya menjadi salah satu pendiri startup teknologi paling menjanjikan di dunia, tetapi juga meraih status sebagai miliarder mandiri termuda mengalahkan nama besar seperti Taylor Swift. Namun, kisah di balik pencapaiannya tak sesederhana angka kekayaan yang menakjubkan.
Lucy bukan sekadar sosok jenius teknologi. Ia adalah simbol perubahan zaman: perempuan muda Asia-Amerika yang membuktikan bahwa visi, keberanian mengambil risiko, dan kesederhanaan bisa menjadi kombinasi yang mematikan di dunia bisnis digital.
Lucy Guo lahir di Fremont, California, dari keluarga imigran Tiongkok yang berprofesi sebagai insinyur. Sejak kecil, ia menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap teknologi. Di usia SD, ia sudah bermain dengan kode dan menciptakan bot otomatis di platform game Neopets. Tak sekadar bermain, ia juga menjual item-item virtual dan mulai menghasilkan uang dari hobi digitalnya.
Ia sempat menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komputer dan Human-Computer Interaction di Carnegie Mellon University kampus ternama bidang teknologi. Namun, ketika mendapat beasiswa dari Thiel Fellowship senilai USD 100.000 (sekitar Rp1,5 miliar), ia memutuskan untuk keluar dari kampus dan fokus membangun produk nyata di dunia industri.
Baca Juga : Kredit Bank Melambat: Alarm Baru bagi Sinyal Dunia Usaha
Keputusan besar itu membawanya ke pertemuan dengan Alexandr Wang, rekan yang kemudian menjadi mitra bisnisnya dalam mendirikan Scale AI pada tahun 2016. Scale AI adalah perusahaan yang menyediakan solusi pelabelan data berkualitas tinggi untuk pengembangan kecerdasan buatan. Dalam waktu singkat, perusahaan ini berhasil menarik perhatian investor dan berkembang pesat.
Meski Lucy keluar dari Scale AI pada 2018, ia tetap memegang hampir 5% saham perusahaan. Di sinilah kekayaan luar biasa itu berasal nilai saham yang ia pertahankan kini mencapai lebih dari USD 1,2 miliar. Ia tidak menjabat lagi, namun dampak kontribusinya di fase awal perusahaan sangatlah signifikan.
Berbeda dari gambaran umum tentang miliarder muda yang hidup mewah, Lucy justru tampil dengan gaya hidup sangat sederhana. Ia masih berbelanja pakaian di Shein, mengendarai Honda Civic, dan memilih menu diskon ketika makan di luar. Filosofinya: “Act broke, stay rich.” Baginya, uang bukan untuk dipamerkan, tapi untuk memberi kebebasan memilih jalan hidup sendiri.
Gaya hidup ini bukan pencitraan, tetapi bagian dari prinsip hidup yang ia yakini. Bahkan ketika mendirikan perusahaan baru pun, ia tetap konsisten dengan pendekatan efisien, fokus pada hasil, dan berani mengambil risiko.
Simak Juga : Tie Dye Hijab: 7 Inspirasi OOTD Syar’i Remaja Muslimah
Setelah sukses dengan Scale AI, Lucy tak berhenti berinovasi. Ia meluncurkan Backend Capital, perusahaan investasi yang mendukung startup tahap awal. Tak hanya memberi modal, Lucy juga membimbing para pendiri muda untuk membangun produk yang tepat sasaran.
Tak lama kemudian, ia mendirikan Passes—platform yang memungkinkan kreator konten memonetisasi karya mereka tanpa harus menurunkan nilai estetika atau menjual sisi sensualitas. Berbeda dengan platform sejenis, Passes menawarkan pembagian keuntungan hingga 90% untuk kreator, dan menolak konten dewasa sebagai model utama.
Pada tahun 2024, Passes sukses meraih pendanaan seri A sebesar USD 40 juta. Ini menunjukkan bahwa pasar merespons positif inovasi Lucy yang fokus pada keberlanjutan dan pemberdayaan komunitas kreator.
Lucy Guo bukan hanya kisah sukses, melainkan peta jalan bagi generasi muda yang ingin membangun masa depan sendiri. Ia menunjukkan bahwa:
Jika Lucy bisa mencapai semua itu sebelum usia 30, bukan tidak mungkin generasi muda Indonesia pun bisa melampaui batas jika berani melangkah dan konsisten dalam visi. Dunia teknologi terbuka luas dan seperti Lucy, siapa pun bisa jadi pionir berikutnya.