Nyata Nyata Fakta – Pada perdagangan Senin, 24 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam sebesar 3 persen, menyentuh level 5.967. Koreksi ini menjadi sorotan tajam pelaku pasar dan memunculkan pertanyaan besar di benak para investor: apakah ini waktu yang tepat untuk keluar dari pasar, atau sebaliknya, justru saat yang ideal untuk menunggu dan melihat perkembangan lebih lanjut?
Menurut Wahyu Tri Laksono, analis dari Central Capital Futures, tren pelemahan ini sebenarnya sudah dapat dibaca sejak kuartal keempat tahun lalu. Artinya, bagi pelaku pasar yang mencermati indikator ekonomi global, penurunan ini seharusnya tidak mengejutkan.
Penurunan IHSG ini memang terjadi di tengah tekanan ekonomi domestik, seperti stagnasi pertumbuhan dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Namun, menurut Wahyu, penyebab utama bukanlah dari dalam negeri, melainkan dari pengaruh global.
Salah satu faktor utama adalah kondisi ekonomi Amerika Serikat. Kebijakan moneter ketat dari The Federal Reserve, termasuk potensi kenaikan suku bunga, telah menyebabkan penguatan dolar AS dan pelemahan rupiah. Akibatnya, pasar saham Indonesia pun terkena imbas karena investor asing mulai menarik dananya ke pasar yang dianggap lebih aman dan menguntungkan seperti AS.
“Baca Juga: Bank Sentral Swiss Menolak Bitcoin Sebagai Cadangan Strategis”
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan proteksionis yang digencarkan oleh pemerintahan Amerika. Ketika negara-negara maju memperketat perdagangan dan memperkuat mata uangnya, arus modal dari negara berkembang seperti Indonesia pun berbalik arah. Dana asing yang sebelumnya masuk untuk mencari imbal hasil tinggi di negara berkembang kini kembali ke negeri asalnya. Hal ini menyebabkan tekanan pada pasar modal Tanah Air.
Pergeseran arus modal ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara berkembang lainnya. Namun, dampaknya terhadap IHSG menjadi lebih terasa karena indeks ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan investor asing.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan investor ritel dalam menghadapi situasi ini? Wahyu menyarankan agar investor tidak gegabah mengambil keputusan. Penurunan tajam seperti ini memang bisa menimbulkan kepanikan, namun keputusan emosional jarang menghasilkan hasil investasi yang optimal.
Langkah terbaik saat ini adalah untuk tetap memantau situasi secara saksama. Jika Anda adalah investor jangka panjang, koreksi pasar justru bisa menjadi peluang untuk mengakumulasi saham-saham unggulan dengan harga yang lebih murah. Namun, pastikan untuk tetap memperhatikan kondisi fundamental emiten dan kestabilan sektor tempat mereka beroperasi.
“Baca Juga: Xiaomi Bagi THR Ramadan: Total Hadiah Rp 150 Juta untuk Pengguna Setia”
Bagi investor yang lebih konservatif, mendiversifikasi portofolio ke instrumen yang lebih aman. Seperti obligasi pemerintah atau reksa dana pasar uang bisa menjadi langkah taktis untuk sementara waktu. Sementara itu, investor yang memiliki profil risiko tinggi bisa mempertimbangkan strategi dollar cost averaging (DCA) agar tetap terpapar pada pasar saham tanpa harus menebak titik terendahnya.
Yang terpenting, memahami bahwa fluktuasi adalah bagian dari dinamika pasar saham. Ketenangan dan kedisiplinan dalam menjalankan strategi investasi menjadi kunci untuk menghadapi situasi seperti ini.