Nyata Nyata Fakta – Pemerintah Indonesia kembali membuat gebrakan di sektor energi baru dan terbarukan dengan menunjuk Zhejiang Huayou Cobalt, perusahaan asal Tiongkok, sebagai mitra strategis baru dalam proyek baterai kendaraan listrik (EV) berskala besar. Langkah ini diambil setelah LG Energy Solution (LGES) dari Korea Selatan memutuskan mundur dari keterlibatannya dalam proyek senilai Rp142 triliun atau setara USD 8,42 miliar tersebut.
Penggantian mitra investasi dalam proyek sebesar ini menimbulkan berbagai pertanyaan di tengah publik dan pengamat industri, terlebih karena LGES sebelumnya dianggap sebagai pemain penting dalam ekosistem baterai global. Namun, pemerintah menegaskan bahwa keputusan ini dilakukan secara strategis dan tidak akan memengaruhi arah pembangunan industri baterai nasional.
Menurut keterangan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, keputusan mundurnya LGES merupakan bagian dari dinamika umum yang kerap terjadi dalam proyek investasi berskala besar. Namun, sumber internal pemerintah mengungkap bahwa proses negosiasi dengan LGES berlangsung sangat lama dan tidak menunjukkan kemajuan signifikan.
Alhasil, pemerintah memutuskan untuk tidak lagi menunggu dan memilih Zhejiang Huayou Cobalt, yang dinilai lebih siap, cepat, dan memiliki rekam jejak positif di Indonesia. Huayou diketahui telah berinvestasi di sejumlah proyek pengolahan mineral di Tanah Air, termasuk pengembangan fasilitas nikel yang menjadi bahan baku utama baterai EV.
Menurut Rosan Roeslani, Menteri Koordinator Bidang Penanaman Modal, faktor familiarity Huayou terhadap lanskap investasi di Indonesia menjadi alasan kuat mengapa pemerintah lebih percaya diri bekerja sama dengan mereka. “Proyek tetap berjalan, hanya aktornya yang berganti,” ujarnya.
“Baca Juga: Honor X60 GT Resmi Dirilis, Usung Chipset Flagship Lama”
Meski terjadi perubahan mitra, pemerintah menegaskan bahwa visi besar pembangunan industri baterai EV dalam negeri tetap tidak berubah. Proyek ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia. Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam seperti nikel, kobalt, dan bauksit.
Indonesia diketahui memiliki cadangan nikel terbesar di dunia komponen vital dalam pembuatan baterai lithium-ion. Dengan menggandeng Huayou, pemerintah berharap transfer teknologi dan pembangunan fasilitas hulu-hilir tetap berjalan sesuai rencana. Groundbreaking proyek ini dijadwalkan berlangsung tahun ini, menandai dimulainya era baru produksi baterai EV berbasis dalam negeri.
Rantai pasok yang dimaksud mencakup mulai dari pengolahan bahan mentah, produksi sel baterai, hingga daur ulang. Tujuan akhirnya adalah membangun ekosistem yang kuat dan mandiri. Sekaligus menjadi magnet bagi investasi global yang ingin memanfaatkan potensi pasar kendaraan listrik di Asia Tenggara.
Pergantian LGES dengan Huayou mencerminkan pergeseran kekuatan dalam industri EV global. Di mana perusahaan-perusahaan asal Tiongkok semakin agresif menanamkan modal ke negara-negara dengan potensi sumber daya melimpah. Tiongkok juga dikenal sebagai pemimpin pasar dalam teknologi baterai dan kendaraan listrik.
Namun, ini bukan berarti hubungan Indonesia dengan LGES sepenuhnya berakhir. Pihak LGES masih memiliki proyek aktif di Indonesia melalui HLI Green Power. Perusahaan patungan dengan Hyundai Motor Group, yang telah meresmikan pabrik baterai EV pertama di Indonesia pada tahun 2024 dengan kapasitas produksi hingga 10 GWh per tahun.
Kerja sama ini menunjukkan bahwa meski LG mundur dari satu proyek, peluang kolaborasi strategis tetap terbuka. Pemerintah pun menegaskan akan tetap menjaga iklim investasi yang adil dan terbuka bagi semua mitra internasional.
Langkah pemerintah menggandeng Huayou memperlihatkan komitmen serius dalam membangun industri energi masa depan. Indonesia tidak ingin sekadar menjadi pengekspor bahan mentah, tapi naik kelas menjadi produsen teknologi bernilai tambah.
Pembangunan pabrik baterai, smelter, hingga pusat riset dan inovasi menjadi prioritas utama. Dalam jangka panjang, pemerintah menargetkan produksi baterai domestik akan mendukung mobil listrik buatan Indonesia, sehingga mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Dengan infrastruktur yang semakin siap, ketersediaan lahan industri, tenaga kerja muda, dan dukungan regulasi, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu pusat gravitasi baru dalam industri EV Asia. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia bisa, melainkan kapan Indonesia benar-benar jadi pemain utama dunia dalam teknologi hijau.