Nyata Nyata Fakta – Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat kembali memanas di tengah dinamika ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih. Dalam pernyataan tegas yang disampaikan pada April 2025. Pemerintah China mengeluarkan ancaman balasan terhadap negara-negara yang mendukung strategi Amerika dalam upaya mengisolasi Beijing secara ekonomi.
Pernyataan tersebut bukan hanya sekadar retorika politik. China menunjukkan bahwa mereka bersiap mengambil langkah konkret sebagai bentuk perlawanan. Mulai dari peningkatan tarif, pembatasan ekspor komoditas strategis, hingga pelarangan terhadap perusahaan asing yang dianggap merugikan kepentingan nasional.
Pernyataan dari Kementerian Perdagangan China muncul setelah langkah agresif terbaru dari Amerika Serikat yang memberlakukan kenaikan tarif hingga 145% terhadap berbagai produk asal China. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari kebijakan proteksionis baru yang dicanangkan Washington dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor dari Tiongkok.
Tidak tinggal diam, China merespons dengan menaikkan tarif impor produk asal Amerika Serikat hingga 125%. Serta membatasi ekspor sejumlah bahan mentah penting, termasuk mineral langka yang digunakan dalam industri teknologi tinggi seperti semikonduktor dan baterai kendaraan listrik.
Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar global. Selain menekan pertumbuhan perdagangan internasional. Langkah-langkah tersebut juga dikhawatirkan membawa negara-negara lain ke dalam pusaran konflik ekonomi antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini.
“Baca Juga: Paus Fransiskus Wafat di Usia 88 Tahun, Dunia Berduka”
Pihak Kementerian Perdagangan China secara eksplisit menyampaikan bahwa negara manapun yang bekerja sama dengan Amerika Serikat. untuk mengisolasi Beijing akan dianggap sebagai lawan secara ekonomi. Mereka menambahkan bahwa pihak-pihak yang “menjual kepentingan China demi keuntungan jangka pendek” akan menghadapi konsekuensi serius.
Pernyataan tersebut secara tidak langsung ditujukan kepada sejumlah negara mitra dagang AS. Yang baru-baru ini menandatangani perjanjian perdagangan baru atau memperketat pembatasan ekspor terhadap Tiongkok. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Eropa, dan bahkan beberapa anggota G20 kini menghadapi dilema strategis. Memilih berpihak kepada kekuatan lama atau membangun jalan tengah yang menguntungkan secara ekonomi.
China menegaskan bahwa mereka tidak anti kerja sama internasional, namun akan menolak keras segala bentuk tekanan kolektif yang dimotori oleh Washington. Langkah ini mencerminkan strategi Beijing yang semakin agresif dalam menghadapi tekanan eksternal yang dinilai mengancam kedaulatan ekonomi nasional.
Dampak dari konflik ini tidak hanya dirasakan oleh AS dan China, tetapi juga oleh negara-negara ketiga yang memiliki hubungan dagang kuat dengan keduanya. Negara-negara seperti India, Indonesia, Vietnam, Jerman, dan Korea Selatan kini berada dalam posisi sulit untuk menentukan sikap.
Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan akses pasar dan stabilitas hubungan dengan Amerika Serikat. Di sisi lain, ketergantungan terhadap China dalam rantai pasok global, terutama dalam sektor manufaktur, bahan baku, dan komoditas teknologi. Hal ini membuat mereka tidak bisa begitu saja mengambil risiko memutus hubungan ekonomi dengan Beijing.
Kondisi ini menciptakan tekanan diplomatik baru bagi banyak negara berkembang yang sedang membangun strategi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Banyak di antaranya mulai mengkaji ulang arah kebijakan luar negeri mereka dan mempertimbangkan pendekatan netral aktif untuk menjaga keseimbangan antara dua kekuatan besar tersebut.
“Baca Juga: Ekspor Indonesia Kembali Menguat: Surplus Perdagangan Maret 2025 Jadi Sinyal Positif”
Alih-alih menutup artikel ini dengan kesimpulan umum. Hal ini justru menarik untuk melihat bagaimana ketegangan antara China dan Amerika justru membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk merancang strategi baru dalam reposisi ekonomi global.
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, beberapa negara mulai memperkuat kerja sama kawasan melalui blok dagang seperti ASEAN, BRICS+, dan RCEP. Mereka juga mulai meninjau peluang untuk menjadi alternatif pusat produksi atau pelabuhan logistik bagi perusahaan yang ingin mendiversifikasi rantai pasok mereka dari dua kekuatan besar dunia.
Lebih jauh, munculnya konflik tarif dan kebijakan dagang juga mendorong percepatan transformasi digital, ketahanan pangan, dan pengembangan industri lokal sebagai strategi jangka panjang. Negara-negara yang mampu bersikap adaptif dan memperkuat kemandirian ekonomi diprediksi akan menjadi pemenang dalam konfigurasi ekonomi global yang baru.